Mengatur Kerja
Amat jarang orang yang memikirkan kepentingan mengatur atau merencanakan pekerjaan yang dihadapinya, sehingga kacau-balaulah pekerjaan setiap hari. Kadang-kadang orang yang cerdik cendekia sendiri pun tidak lepas dari penyakit ini. Kalau sekiranya orang membiasakan membuat rancangan pekerjaan yang akan dihadapinya tiap hari, serta setia mengikuti keputusan yang telah dibuatnya sendiri itu, maka kelembekan dan kelemahan kita tidakalah akan ada. Karena susunan rancangan pekerjaan itu memudahkan jalan menuju kemenangan dan keberuntungan yang dinamai “sukses”. Hati kita tetap dan langkah tidak gentar menuju ke muka.
Hendaklah rancangan pekerjaan yang kita hadapi itu disesuaikan dengan kondisi badan sendiri. Selama kita memakai semboyan “tidak melebihi kekuatan diri, serta sudi menyesuaikan pekerjaan dengan apa yang cocok dengan tabiat kemanusiaan”, maka selama itu pula kita wajib menjaga segala pekerjaan supaya sesuai dengan kekuatan. Pekerjaan hendaklah tidak berlawanan dengan kewajiban.
Untuk mencapai itu hendaklah kita perhatikan benar keadaan diri sendiri dan budi pekerti sendiri. Kita hitung langkah dan kita tilik dimanakah ujung perhentian yang cocok buat kita. Orang yang akan beroleh kemenangan dalam suatu pekerjaan ialah orang yang mengukur bajunya sesuai dengan tubuhnya. Seorang yang kecendrungan dirinya jadi wartawan misalnya, tidaklah akan jaya kalai dia jadi tentara dan pergi bertempur. Di medan perang ia tidak akan dijadikan sebagai panglima, dia hanya jadi pengikut, karena sebenarnya bukan di sana medan perjuangannya. Medannya bukan lapangan hijau berumput berbatu-batu, tetapi lapangan kertas yang putih bersih. Meskipun dia ke medan perang setingginya hanya jadi wartawan perang ketika mengerjakannya. Sudah pernah kejadian seorang pekerja di dalam memimpin suatu pergerakan, di sana dia tidak dapat maju ke muka benar. Dia selalu di barisan kedua, bukan di barisan pertama. Dia tidak dapat diikat oleh disiplin perserikatan, sebab ia selalu merasa bebas sendiri. Disiplin perserikatan amat berlawanan dengan itu. Syukurlah ia insaf, lalu lari dari perserikatan itu ke dunia yang cocok dengan jiwanya, yaitu dunia pengarang. Di situlah dia baru beroleh sukses. Maka alangkah ruginya masyarakat kalo sekiranya ia tidak lekas insaf, tentu akan tersembunyi suatu kekuatan yang pada hakekatnya memang perlu.
Sebab itu, apa pun pekerjaan di dunia adalah bagus, berfaedah, karena masyarakat itu akan lemah dengan sendirinya kalao sekiranya hati orang hanya terpusat kepada suatu tujuan saja. Cuma yang harus dijaga ialah budi ketia menghadapinya. Tetapi janganlah lupa manusia itu kadang-kadang salah san silap, sebab manusia memang selalu ditentang oleh kesalahan. Coba pilih dan tunjukkan mana manusia di dunia ini yang tak pernah salah? Sedangkan para Nabi pernah khilaf, apakah mereka suci dari kesalahan selama-lamanya sebab mereka dipilih Tuhan buat menjadi utusan? Hal itu sekrang tidak usah kita putuskan, sebab kita sekarang membicarakan pertalian akal dengan kehidupan, bukan membongkar sebab perselisihan ahli Ilmu Kalam. Cuma kewajiban kita sebagai manusia ialah mengingat benar-benar di tempat mana kaki kita tergelincir dan di mana kita terjatuh tempo hari, di lobang mana dan lantaran apa. Maka bila tida di tempat itu sekali lagi, menyingkirlah kepada jihad yang lain, jangan terus berada di situ.
Kalau tertumbuk langkah kita, sudah ada pepatah: “Tertumbuk biduk di belokkan, tertumbuk kata dipikiri”.
Kelezatan akal telah menetukan kewajiban kita menurut umur. Semua kecil, hormatilah ayah dan bunda. Salam sekolah khidmatilah guru. Di waktu muda hormatilah orang yang lebih tua. Penuturan orang yang banyak pengalaman dan penderitaan dengarkanlah dengan seksama. Sedangkan badan muda tahanlah syahwat dan nafsu, supaya tidak habis kekuatan sebelum badan tua. Ikut perangai ayah mana yang baik. Warisannya yang berupa harta tidak ada harganya, ia akan lekas habis, tetapi warisannya yang berupa budi bisa berlipat ganda banyaknya setelah ia meninggal.
Orang tua bersenang dirilah. Kurangi pekerjaan berat. Tilik pemuda dari jauh, beri pimpinan dengan baik, jangan jadi batu penrung, hendak meminta pemuda suapaya serupa dengan pemuda di jaman beliau masih muda, 40 tahun yang lalu. Tua itu bukan berarti tidak terpakai lagi, tetapi si tua adalah tulang belakang si muda. Jika ada perangai pemuda yang tidak dicocoki, jangan ditilik kepada perangainya saja, tembuslah sampai kepada darahnya. Menghambat pemuda dalam geloranya, sama dengan mengikat kaki tangan anak kecil berumur empat bulan supaya tidak bergerak, atau mengurung anak berumur lima tahun supaya tidak berlari. Kalau hendak dibuat begitu juga, lebih baik doakan anak-anak itu lekas sakit supaya dia “elok laku” saja di rumah serupa neneknya. Kalau di waktu masih muda diminta supaya dia serupa orang tua menantunya, maka di waktu tuanya esok serupa siapakah dia?
Orang tua yang begitu biasanya dinamai “tua nyinyir”, tua gatal mulut, tua renta. Ada pula orang yang telah tua, merasa masih muda juga, sebabakalnya memang agak perlu “dioperasi”, di perbaiki sedikit. Orang tua begini biasa digelari “orang tua terung asam”, makin tua makin berminyak! Tua yang begini perhiasannya ialah kebesaran dan gengsinya. Janggutnya lebih mahal dari dari pada dasi pemuda. Tongkatnya menjadi dalil bahwa di dalam ala mini ada pula kehebatan. Tahu hendaknya memakai pakain masing-masing, demikianlah hidupnya orang yang berakal. Hakim atau orang yang menajalankan perintah negeri hendaklah insaf bahwa orang yang diakui berakal hanyalah karena budinya, bukan pangkatnya. Celakalah orang yang disegani karena zalimnya.
Orang yang hidup di rantau jangan campuri urusan orang dalam kampungnya, sebagaimana seorang mertua yang suka cekcok di dalam rumah.
Demikianlah hidupnya orang yang berakal, tegak di garis masing-masing, menjaga hak sendiri dan menghormati hak orang lain pula. Bersama-sama berkhidmat kepada keadilan dan peraturan.
Pikirlah bagaimana cara orang dahulu menentukan hukum dan bagaimana pula orang sekrang. Dahulukala kalau sekiranya timbul satu kesalahan pada perkataan atau perbuatan, hukumannya lekat sekali. Cemburu dan cenderung mata masyarakat-lekatlah kepadanya. Sekarang orang salami lubuk akalnya, lubuk jiwanya.
Gerak-gerik di dalam sopan, duduk di dalam adab, pikir dahulu baru amal, jangan terdorong-dorong saja. Bukan hidup sembarang hidup, babi di hutan hidup juga, tetapi dari harta orang; anjing di kampong hidup juga, tetapi dari lebih-lebih tulang; kucing di rumah hidup juga, tetapi hidup makan sisa. Hidup insane lain letaknya. Lezat akal sempurna bisa, mulia hati lautan faham, penuh melaut kira-kira.
Hendaklah rancangan pekerjaan yang kita hadapi itu disesuaikan dengan kondisi badan sendiri. Selama kita memakai semboyan “tidak melebihi kekuatan diri, serta sudi menyesuaikan pekerjaan dengan apa yang cocok dengan tabiat kemanusiaan”, maka selama itu pula kita wajib menjaga segala pekerjaan supaya sesuai dengan kekuatan. Pekerjaan hendaklah tidak berlawanan dengan kewajiban.
Untuk mencapai itu hendaklah kita perhatikan benar keadaan diri sendiri dan budi pekerti sendiri. Kita hitung langkah dan kita tilik dimanakah ujung perhentian yang cocok buat kita. Orang yang akan beroleh kemenangan dalam suatu pekerjaan ialah orang yang mengukur bajunya sesuai dengan tubuhnya. Seorang yang kecendrungan dirinya jadi wartawan misalnya, tidaklah akan jaya kalai dia jadi tentara dan pergi bertempur. Di medan perang ia tidak akan dijadikan sebagai panglima, dia hanya jadi pengikut, karena sebenarnya bukan di sana medan perjuangannya. Medannya bukan lapangan hijau berumput berbatu-batu, tetapi lapangan kertas yang putih bersih. Meskipun dia ke medan perang setingginya hanya jadi wartawan perang ketika mengerjakannya. Sudah pernah kejadian seorang pekerja di dalam memimpin suatu pergerakan, di sana dia tidak dapat maju ke muka benar. Dia selalu di barisan kedua, bukan di barisan pertama. Dia tidak dapat diikat oleh disiplin perserikatan, sebab ia selalu merasa bebas sendiri. Disiplin perserikatan amat berlawanan dengan itu. Syukurlah ia insaf, lalu lari dari perserikatan itu ke dunia yang cocok dengan jiwanya, yaitu dunia pengarang. Di situlah dia baru beroleh sukses. Maka alangkah ruginya masyarakat kalo sekiranya ia tidak lekas insaf, tentu akan tersembunyi suatu kekuatan yang pada hakekatnya memang perlu.
Sebab itu, apa pun pekerjaan di dunia adalah bagus, berfaedah, karena masyarakat itu akan lemah dengan sendirinya kalao sekiranya hati orang hanya terpusat kepada suatu tujuan saja. Cuma yang harus dijaga ialah budi ketia menghadapinya. Tetapi janganlah lupa manusia itu kadang-kadang salah san silap, sebab manusia memang selalu ditentang oleh kesalahan. Coba pilih dan tunjukkan mana manusia di dunia ini yang tak pernah salah? Sedangkan para Nabi pernah khilaf, apakah mereka suci dari kesalahan selama-lamanya sebab mereka dipilih Tuhan buat menjadi utusan? Hal itu sekrang tidak usah kita putuskan, sebab kita sekarang membicarakan pertalian akal dengan kehidupan, bukan membongkar sebab perselisihan ahli Ilmu Kalam. Cuma kewajiban kita sebagai manusia ialah mengingat benar-benar di tempat mana kaki kita tergelincir dan di mana kita terjatuh tempo hari, di lobang mana dan lantaran apa. Maka bila tida di tempat itu sekali lagi, menyingkirlah kepada jihad yang lain, jangan terus berada di situ.
Kalau tertumbuk langkah kita, sudah ada pepatah: “Tertumbuk biduk di belokkan, tertumbuk kata dipikiri”.
Kelezatan akal telah menetukan kewajiban kita menurut umur. Semua kecil, hormatilah ayah dan bunda. Salam sekolah khidmatilah guru. Di waktu muda hormatilah orang yang lebih tua. Penuturan orang yang banyak pengalaman dan penderitaan dengarkanlah dengan seksama. Sedangkan badan muda tahanlah syahwat dan nafsu, supaya tidak habis kekuatan sebelum badan tua. Ikut perangai ayah mana yang baik. Warisannya yang berupa harta tidak ada harganya, ia akan lekas habis, tetapi warisannya yang berupa budi bisa berlipat ganda banyaknya setelah ia meninggal.
Orang tua bersenang dirilah. Kurangi pekerjaan berat. Tilik pemuda dari jauh, beri pimpinan dengan baik, jangan jadi batu penrung, hendak meminta pemuda suapaya serupa dengan pemuda di jaman beliau masih muda, 40 tahun yang lalu. Tua itu bukan berarti tidak terpakai lagi, tetapi si tua adalah tulang belakang si muda. Jika ada perangai pemuda yang tidak dicocoki, jangan ditilik kepada perangainya saja, tembuslah sampai kepada darahnya. Menghambat pemuda dalam geloranya, sama dengan mengikat kaki tangan anak kecil berumur empat bulan supaya tidak bergerak, atau mengurung anak berumur lima tahun supaya tidak berlari. Kalau hendak dibuat begitu juga, lebih baik doakan anak-anak itu lekas sakit supaya dia “elok laku” saja di rumah serupa neneknya. Kalau di waktu masih muda diminta supaya dia serupa orang tua menantunya, maka di waktu tuanya esok serupa siapakah dia?
Orang tua yang begitu biasanya dinamai “tua nyinyir”, tua gatal mulut, tua renta. Ada pula orang yang telah tua, merasa masih muda juga, sebabakalnya memang agak perlu “dioperasi”, di perbaiki sedikit. Orang tua begini biasa digelari “orang tua terung asam”, makin tua makin berminyak! Tua yang begini perhiasannya ialah kebesaran dan gengsinya. Janggutnya lebih mahal dari dari pada dasi pemuda. Tongkatnya menjadi dalil bahwa di dalam ala mini ada pula kehebatan. Tahu hendaknya memakai pakain masing-masing, demikianlah hidupnya orang yang berakal. Hakim atau orang yang menajalankan perintah negeri hendaklah insaf bahwa orang yang diakui berakal hanyalah karena budinya, bukan pangkatnya. Celakalah orang yang disegani karena zalimnya.
Orang yang hidup di rantau jangan campuri urusan orang dalam kampungnya, sebagaimana seorang mertua yang suka cekcok di dalam rumah.
Demikianlah hidupnya orang yang berakal, tegak di garis masing-masing, menjaga hak sendiri dan menghormati hak orang lain pula. Bersama-sama berkhidmat kepada keadilan dan peraturan.
Pikirlah bagaimana cara orang dahulu menentukan hukum dan bagaimana pula orang sekrang. Dahulukala kalau sekiranya timbul satu kesalahan pada perkataan atau perbuatan, hukumannya lekat sekali. Cemburu dan cenderung mata masyarakat-lekatlah kepadanya. Sekarang orang salami lubuk akalnya, lubuk jiwanya.
Gerak-gerik di dalam sopan, duduk di dalam adab, pikir dahulu baru amal, jangan terdorong-dorong saja. Bukan hidup sembarang hidup, babi di hutan hidup juga, tetapi dari harta orang; anjing di kampong hidup juga, tetapi dari lebih-lebih tulang; kucing di rumah hidup juga, tetapi hidup makan sisa. Hidup insane lain letaknya. Lezat akal sempurna bisa, mulia hati lautan faham, penuh melaut kira-kira.
Jakarta, 9 September 2014 1:05 AM